Sukses

Sosialisasi KUHP Baru Dinilai Penting untuk Wujudkan Reformasi Sistem Hukum Pidana

Dalam sambutannya, Rektor Universitas Andalas, Prof Dr Yuliandri menjelaskan bahwa acara sosialisasi KUHP ini menunjukkan harapan bersama atas kehadiran beleid tersebut.

Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) menggelar acara sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru.

Kegiatan sosialisasi kali ini diselenggarakan di Hotel Santika Premier Padang, Sumatera Barat (Sumbar) pada Rabu (11/1/2023).

Kegiatan sosialisasi KUHP di Padang ini dihadiri oleh ratusan peserta. Sejumlah tokoh di Sumatera Barat pun turut hadir meramaikan acara tersebut, diantaranya Kajati Sumbar, Kabinda Sumbar, Ketua Pengadilan Tinggi Agama Sumbar, Kaban Kesbangpol Sumbar, Rektor Universitas Andalas, Rektor Universitas Taman Siswa, Staf Ahli Gubernur Sumbar, Staf Ahli DPRD Sumbar, Dekan Sivitas Akademik, LKAAM, Dewan Masjid Indonesia, PWNU, Buya M. Leter, dan para mahasiswa.

Dalam sambutannya, Rektor Universitas Andalas, Prof Dr Yuliandri menjelaskan bahwa acara sosialisasi KUHP ini menunjukkan harapan bersama atas kehadiran beleid tersebut. Dirinya juga mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang mendukung agenda nasional sosialisasi KUHP. 

"Telah terjadi transformasi hukum pidana, karena selama ini kita menggunakan KUHP dari produk jaman kolonial. Dengan kehadiran UU No. 1/2023 tentang KUHP mampu menandai sejarah hukum Indonesia bagaimana kita melakukan reformasi dan pembaruan hukum nasional”, ungkap Prof Yuliandri.

Menurutnya, dalam UU No. 1/2023 ada 3 hal dasar mengapa KUHP dibuat, pertama adalah karena dasar KUHP Nasional adalah Pancasila, kedua terkait penyesuaian hukum pidana dengan politik nasional, ketiga adanya keseimbangan pengaturan dan mampu menampung kepentingan individu.

Hadir sebagai narasumber dalam acara tersebut, Ahli Hukum Universitas Diponegoro Prof. Dr. H. R. Benny Riyanto, SH., M.Hum, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, SH., MA., Ph.D, dan Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat MAHUPIKI, Dr. Yenti Ganarsih, SH., MH.

Dalam paparannya, Benny mengatakan KUHP yang berlaku di Indonesia berasal dari Belanda dan memiliki nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie (WvS). 

“Wvs belum ada terjemahan resmi. Aslinya masih dalam bahasa Belanda. Muncul berbagai terjemahan yang berpotensi multitafsir”, jelas Ahli Hukum Universitas Diponegoro ini.

Menurutnya, KUHP lama peninggalan Belanda sudah ada sejak lebih dari 100 tahun yang lalu, namun sampai saat ini belum ada terjemahan resminya, sehingga muncul banyak terjemahan yang berpotensi menimbulkan multitafsir. Selain itu, belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa, apalagi mencerminkan dasar negara falsafah Pancasila.

Benny mengungkapkan, urgensitas mengganti KUHP lama menjadi KUHP Nasional adalah pertama, karena telah terjadi pergeseran paradigma keadilan, yang dulu menggunakan paradigma keadilan retributif, menjadi keadilan yang korektif bagi pelaku, restoratif bagi korban dan rehabilitatif bagi korban maupun pelaku. 

Selain itu juga merupakan perwujudan reformasi sistem hukum secara menyeluruh yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa dan HAM secara universal.

 

 

2 dari 2 halaman

Tentang Pasal Perzinahan

Masih di acara sosialisasi tersebut, Pakar hukum Prof Harkristuti Harkrisnowo, mengatakan bahwa adanya Living Law dalam KUHP Nasional merupakan sebuah penghargaan kepada masyarakat hukum adat. Namun ada kekeliruan dari masyarakat tatkala diterapkannya living law, maka ada penyimpangan terkait asas legalitas. 

"Tentu ini tidak benar karena semua harus ada bukti ilmiah bahwa peraturan tersebut masih diterapkan di masyarakat dan diatur dalam Perda. Berarti negara telah memperkuat peran dari hukum adat dalam kehidupan bernegara. Yang menjadi concern adalah terkait sanksi hukum adat yang kerap kali memberatkan, sehingga kami membatasi bahwa denda sesuai dengan kategori tertentu”, tutur Prof. Harkristuti.

Tentang Pasal Perzinahan dan Kohabitasi yang diatur dalam KUHP Nasional, menurutnya, sejauh ini masih terdapat perbedaan pendapat dari masyarakat yang di satu sisi menyatakan bahwa itu adalah hak privat, namun di sisi lain ada masyarakat yang justru menuntut supaya itu menjadi delik aduan saja.

"Sementara untuk tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan dalam KUHP Nasional masih diperlukan di Indonesia karena negara ini bukanlah negara yang sekuler, melainkan negara yang religius. Sehingga hal yang dilarang adalah adanya hasutan atau kebencian terkait diskriminasi kepada agama atau kepercayaan orang lain”, jelas Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia tersebut.